Judul : The Pepper Coast; Tinjauan Sejarah, Arkeologi, dan Ekonomi Rempah di Bandar Susoh dan Kuala Batu
Jumlah Halaman : xiv + 680 hlm
Ukuran Buku : 15,5 x 23 cm
ISBN : Masih Dalam Proses
Harga : Rp.200.000,-
Sinopsis
Aroma lada dari tanah Sumatera pernah melintasi
samudra, menembus kabut Atlantik, dan memenuhi gudang-gudang niaga di Salem,
Boston, hingga London. Dari pelabuhan-pelabuhan kecil di pesisir Aceh Barat
Daya, butiran hitam yang sederhana itu menggerakkan roda sejarah dunia: memikat
pedagang Eropa, mengundang persaingan kolonial, dan menorehkan kisah tentang
keterhubungan global sejak berabad lampau. Di balik riak ombak Samudra Hindia,
Susoh dan Kuala Batu berdiri sebagai saksi bisu dinamika besar itu.
Sejarah selalu menyimpan ruang-ruang kosong. Ia
menunggu untuk diisi kembali dengan kisah-kisah yang terpinggirkan, terlupakan,
bahkan sengaja dihapus. Salah satu ruang itu adalah narasi tentang dua bandar
penting di pesisir barat Sumatera: Susoh dan Kuala Batu. Keduanya pernah
menjadi denyut nadi jalur perdagangan lada dunia, namun dalam narasi besar
sejarah perdagangan internasional, peran mereka kerap terabaikan.
Pesisir barat selatan Aceh, sejak berabad-abad telah
menjadi simpul penting dalam jaringan perdagangan global. Di kawasan inilah
Susoh dan Kuala Batu berkembang sebagai pusat lada, menghubungkan pedalaman
Aceh dengan pasar dunia. Lada dari negeri ini menarik kapal-kapal asing:
Belanda dengan VOC-nya, Inggris melalui EIC-nya, hingga pedagang Amerika dari
Salem, Boston, dan New York. Seorang pedagang dari Salem bahkan menulis dalam
catatannya bahwa “tidak ada pantai lain
di Asia yang lebih menjanjikan lada berkualitas tinggi selain pantai barat
Sumatera.” Pernyataan ini menunjukkan betapa kuat daya tarik kawasan
tersebut di mata bangsa-bangsa asing.
Dalam catatan sejarah, tercatat bahwa sejak
penghujung abad ke-18, kapal-kapal Amerika secara rutin berlayar ke pantai
barat Aceh untuk menukar perak Spanyol dengan lada. Jumlahnya tidak
kecil—kadang mencapai ribuan ton dalam setahun—dan dari titik inilah istilah “Pepper Coast” atau Pantai Lada melekat
pada pesisir barat daya Aceh. Sementara itu, Inggris, Amerika dan Belanda
berulang kali berusaha menanamkan pengaruh politik serta ekonomi, namun tidak
jarang berhadapan dengan resistensi lokal dan kegagalan dalam mempertahankan
monopoli.
Namun, sejarah tidak hanya tersimpan dalam arsip
tertulis. Ia juga bersemayam di tanah, artefak, dan ingatan masyarakat. Temuan
arkeologi berupa pecahan keramik Tiongkok dan Eropa, sisa struktur benteng
pertahanan tanah (madat), hingga artefak dagang lainnya menjadi bukti bisu
keterhubungan antarbangsa di kawasan ini. Dari sisi ekonomi, lada bukan sekadar
komoditas, melainkan simbol kuasa. Penguasaan atas jalur lada berarti kendali
atas kekayaan, pengaruh politik, dan arah hubungan internasional.
Buku ini berusaha merangkai kembali fragmen-fragmen
itu melalui tiga lensa utama: sejarah, arkeologi, dan ekonomi rempah.
Pendekatan lintas disiplin ini penting, agar kita memahami bahwa jalur rempah
bukan sekadar catatan perdagangan, melainkan sebuah ekosistem peradaban. Bandar
Susoh dan Kuala Batu memberi contoh nyata bagaimana sebuah pelabuhan di tepian
Samudra Hindia mampu memainkan peran global.
Kajian ini juga menghadirkan refleksi bagi masa kini. Jalur rempah adalah simbol keterhubungan Nusantara dengan dunia. Dengan menggali kembali jejaknya, kita bukan hanya merawat memori kolektif, tetapi juga menemukan inspirasi untuk mem-bangun kembali kejayaan maritim nasional. Ketika Indonesia tengah membangun kembali citra sebagai pusat rempah dunia melalui diplomasi budaya dan ekonomi kreatif, pengalaman sejarah Susoh dan Kuala Batu menjadi sumber inspirasi yang berharga. Bahwa kemakmuran bisa lahir dari laut, dari pelabuhan kecil di tepi Samudra Hindia, dan dari komoditas sederhana yang pernah menggerakkan roda sejarah dunia.
0 Komentar